Kamis, 31 Maret 2016

KONEKTIFITAS UNSUR-UNSUR PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN



Oleh : Nafriandi

Dalam rangka melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah, kita tentu tidak akan lepas dari peraturan perundang-undangan sebagai pedoman baik pelaksanaan maupun dalam mengimplementasi terhadap unsur-unsur pelaksananya, dimana saat ini kita mengacu kepada UU No. 18 tahun 1999 besarta turunannya dan terhadap keuangannya UU No 1 tahun 2004 beserta turunnya.
Dalam pelaksanaan Pengadaaan barang/jasa pemerintah, terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan tidak akan terlepas dari UU No. 18 Tahun 1999 tentang jasa Konstruksi serta turunannya, dimana turunan utama disamping turunan terkait lainnya dari UU tersebut sebagai berikut :
1.       PP  No. 29 tahun 2000 tentang penyelenggaraan Jasa Konstruksi
2.       PerPres No. 54 tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah
3.       Permen PU
Sedangkan terhadap keuangan yaitu UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendahaan Negara turunnya adalah :
1.       PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
2.       Permendagri.
Dalam pelaksanaan barang/jasa pemerintah pada saat ini terkadang terjadi perbedaan antara daerah dalam pengimplementasian, terutama unsur-unsur pelaksana dan keberadaan kegiataan yang akan dilaksanan, perbedaan penerapan aturan yang mungkin berbeda-beda antar daerah yang satu dengan daerah yang lainnya dan lebih ironis lagi PPTK terlibat dalam penanda tanganan kwitansi, kondisi tersebut ada baiknya dilakukan penyamaan persesepi terhadap PPTK, PPK dan unsure lainnya.
Selain hal tersebut diatas, persoalan sering muncul ketika Unit SKPD pelaksana kegiatan tidak memiliki tenaga teknis, hal tersebut akibat kurangnya mencermati amanat UU No 18 Tahun 1999, sehinggga kegiatan yang diamanatkan tersebut tersebar hampir disetiap unit SKPD tanpa memikirkan aspek hukumnya, maka muncullah persoalan tenaga teknis tersebut, dalam setiap kegiatan Jasa konstruksi harus mempunyai personil yang cukup baik PPK, Tim Serah terima dan lainnya.
Disamping itu yang selalu menjadi perbincangan dikalangan pengelola pengadaan barang/Jasa pemerintah, terkait kenektifitas peraturan keuangan dengan peraturan teknis  terhadap penafsiran unsur-unsur pelaksana kegiatan dan pengelolah kegiatan.       
a.       PPTK dan PPK
  1. PPTK
PP 58 Tahun 2005  
Pejabat Pelakasana Teknis Kegiatan (PPTK) Pasal 12
Angka (1) Pejabat Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran dalam melaksanakan program dan kegiatan dapat menunjuk Pejabat Pada unit kerja SKPD selaku PPTK”
Angka (2)Tugas PPTK : a. Mengendalikan Pelaksanaan Kegiatan   b. Melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan dan    c. Menyiapkan dokumen anggaran atas beban Pengeluaran pelaksanaan kegiatan.
PPTK pada Unit kerja SKPD yang ditunjuk adalah Pejabat Bukan staf pada unit kerja, ketika staf menjadi PPTK berarti perlu dikembalikan ke bunyi pasal dimaksud, ketika ada kata-kata “Dapat” hal tersebut bukanlah untuk siapanya melainkan untuk ada atau tiada (ditunjuk atau tidak) PPTK tersebut dalam kegiatan yang akan dilaksanakan.
Pada Angka (2) Point terlihat jelas tugas pokok PPTK yaitu menyiapkan dokumen pencairan, dalam hal menyiapkan dokumen pencairan ini, PPTK jelas tidak terlibat dalam penandatangan apapun kecuali pada check list dokumen pencairan  
  1. PPK
PerPres No. 54 Tahun 2010
Pejabat Pembuat Komitmen
Pasal 11
(1)  PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan sebagai berikut:
a.  menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa  yang meliputi  ( spesifikasi teknis Barang/Jasa,  Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan  rancangan Kontrak). b. menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;  c. menandatangani Kontrak; d. melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa; e. mengendalikan pelaksanaan Kontrak; f. melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA; g. menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA dengan Berita Acara Penyerahan; h. melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan i. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
(2)  Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dalam hal diperlukan, PPK dapat:
 a.  mengusulkan kepada PA/KPA: 1) perubahan paket pekerjaan; dan/atau 2) perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
b. menetapkan  -b.  menetapkan tim pendukung; c.  menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis (aanwijzer) untuk membantu pelaksanaan tugas ULP; dan d.  menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia Barang/Jasa.
PPK merupakan delegasi wewenang dari PA/KPA, dimana ketika PPK ditetapkan oleh PA/KPA mau tidak mau, suka atau tidak kewenangan fisik, keuangan dan admistrasi proyek menjadi tanggung jawab PPK, PPK bukan hanya sekedar berkomitmen tetapi PPK melakukan perikatan hukum yang pasal demi pasal menjadi kewenangannya.
Ketika pasal-pasal wajib yang menjadi kewenangan salah satu dikurangi sebagaimana yang tertuang dalam pasal 22 dan 23 PP No. 29 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan jasa konstruksi, maka dapat dikatakan kontrak yang diperjanjikan tidak syah.
Siapa PPK tersebut? PPK adalah Tidak harus Pejabat pada unit satuan kerja perangkat daerah, tetapi apa yang disyaratkan oleh Pasal 12 PerPres 54 Tahun 2010.
Jadi PPTK dan PPK mempunyai tugas dan kewenangan yang berbeda, PPTK merupakan Pejabat Pada unit satuan kerja kemudian staf ditunjuk sebagai PPK, kondisi tersebut bisa terjadi perbedaan-perbedaan yang ujung-ujungnya saling punya kewenangan, pada struktural PPTK atasan dari PPK sedangkan pada kegiatan PPTK pendukung dari PPK,  itulah sebenarnya yang perlu kita siasati agar tidak terjadi pertentangan-pertentangan antar PPTK dan PPK.
Untuk mengatasi persoalan tersebut ada baik ketika staf di tunjuk sebagai PPK, maka PPTK ditiadakan saja. namun ketika PA atau KPA (Kepala Bidang, Kabag) selaku PPK, maka kondisi inilah baru ditunjuk PPTK (Kasi atau kasubag). Pada prinsipnya penunjukan tersebut melihat pada situasi dan kondisi yang ada.       
b.      Unit Kerja Pengelola Kegiatan
Pada saat ini berbagai kegiatan Jasa Konstruksi di daerah tersebar hampir disetiap unit SKPD, terutama didominasi oleh bidang kecipta karyaan atau bangunan gedung, kondisi tersebut pulalah yang membuat munculnya berbagai ungkapan dan ucapan seperti yang populer terbatasnya tenaga teknis. Ungkapan-ungkapan tersebut terus menggelinding, seiring munculnya permasalahan-permasalahan teknis dilapangan yang membuat para pengelola bingung dan tidak sedikit pula yang berujung ke ranah hukum.
Kondisi tersebut bukannya di evaluasi malah semakin bertambah dan bertambah dari tahun ke tahunnya, sebenarnya kita bisa meminimalisir permasalahan-permasalahannya didaerah, namum kerena keinginan bukan kebutuhan membuat para pengelola jasa konstruksi seakan bisa diberikan kepada siapa saja dan kita seakan lupa bahwa dasar dari pengelolaan jasa kontruksi itu ada yaitu :
1.       UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
2.       PP  No. 29 tahun 2000 tentang penyelenggaraan Jasa Konstruksi
3.       PerPres No. 54 tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah
4.       Permen PU
Peraturan perundang-undangan Jasa Konstruksi ini memang mempunyai hubungan komplementaris terutama dengan Peraturan-Peraturan Perbendaharaan dan Admistrasi Pemerintahan, sehingga Jasa kontruksi itu sendiri tetap berpegang pada peraturan diatas yang isinya mengatur tentang beberapa bidang seperti yang tercantum dalam  UU No. 18 Tahun 1999 Pasal 6 berbunyi  “Bidang usaha jasa konstruksi mencakup pekerjaan arsitektural dan/atau sipil  dan/atau mekanikal dan/atau elektrikal dan/atau tata lingkungan, masing-masing beserta kelengkapannya”.
Muncul pertanyaan, mengapa peraturan menteri PU dijadikan salah satu dasar dalam jasa kontruksi didaerah? Karena Permen PU tersebut merupakan amanat PP No. 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Pasal 62 ayat 1 Berbunyi “Tata laksana dan penerapan sanksi administratif terhadap pengguna jasa instansi/lembaga pemerintah dan atau lembaga Negara diatur lebih lanjut oleh Menteri.”
Kalaulah kita melihat kondisi sekarang, ketika Jasa Konstruksi tersebar hampir diseluruh Unit SKPD, otomatis konsultasi sebagian besar Unit SKPD di Daerah yang menangani jasa konstruksi sebaiknya Kementerian PU (Sekarang Kementerian PU PeRa) atau sekurang-kurangnya pada Dinas Terkait Jasa Konstruksi yang ada didaerah tersebut.
Mensiasati Terbatasnya Tenaga Teknis
Unit SKPD yang mengelola kegiatan konstruksi tidak tersedia tenaga Teknik Konstruksinya, untuk PPK atau KPA selaku PPK, ada baik mengacu kepada Permen PU, karena rata-rata unit SKPD daerah mengelola Gedung (bidang kecipta karyaan), baik pembangunan maupun pemeliharaannya, salah satu syarat PPK dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Pasal 12 Poin 3 huruf berBunyi “berpendidikan paling kurang Sarjana Strata Satu (S1) dengan bidang keahlian yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan”, berarti boleh tidak sesuai keahlian, maka pada kondisi ini bentuk tim pendukungnya untuk membantu PPK, dimana mangacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 45/Prt/M/2007 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara (Jika Tidak ada Perbup atau Keputusan Bupati/Walikota), yaitu Pasal 4 ayat (1) berbunyi  Setiap pembangunan Bangunan Gedung Negara yang dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga harus mendapat bantuan teknis berupa tenaga Pengelola Teknis dari Departemen Pekerjaan Umum dalam rangka pembinaan teknis”. untuk daerah tentu harus disesuaikan.
Ketika PPK tidak memenuhi bidang keahliannya, maka Tenaga Pengelola Teknis Kegiatan/TPTK (bukan PPTK menurut Permendgri atau PP 58 tahun 2005)  yang ditunjuk tersebut sesuai dengan keahliannya, sehingga dalam kegiatan tersebut ada penanggung jawab formilnya, sedangkan yang mengikat perjanjian (PPK/KPA) tetap bertanggung jawab terhadap Materiilnya, mengapa demikian? Jika TPTK tadi  tidak sesuai keahliannya, maka penangggung jawab formilnya tidak terpenuhi, ketika hal tesebut tidak terpenuhi sama dengan menjerumuskan pada kesalahan seandainya terjadi kerugian, hal tersebut menjadi tanggung jawab pembuat keputusan (yang menunjuk),  sesuai dengan UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 54 ayat 2 berbnunyi “Keputusan yang bersifat deklaratif menjadi tanggung jawab  Pejabat  Pemerintahan  yang menetapkan Keputusan yang bersifat konstitutif”.                 
Kesimpulan
1.       PPTK yang ditunjuk  Pada Unit Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah Pejabat Struktural, yang tidak terlibat dalam penanda tanganan proses pencairan dan dalam Pekerjaan Fisik dilapangan.
2.       PPK merupakan Pejabat yang berwenang dalam melaksanakan Kotrak Kerja Konstruksi dan dibantu oleh tim pendukung yang sebaiknya ditetapkan oleh PPK sendiri atau sekurang-kurangnya melalui usulannya.
3.       Kekuarangan tenaga teknis jangan dijadikan alasan, ketika hal tersebut kita yang menginginkan gunakan solusi-solusi yang tawarkan oleh peraturan perundang-undangan.
4.       Dalam penunjukan pelaksana pengelola kegiatan disesuaikan dengan asas profesionalisme dengan melihat kompetensi teknis agar tidak bertentangan dengan Pasal 54 ayat 2 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Demikian sedikit yang bisa saya pahami tentang Pengadaan Barang/Jasa.
Jika terjadi salah Tafsir mohon luruskan